pasang iklan

GLOBAL WARMING (PEMANASAN GLOBAL)


     Para ahli menyebut kenaikan temperatur bumi akan mencapai 1,4 sampai 6,3 derajat Celcius hingga tahun 2100. Padahal, setiap kenaikan 2 derajat Celcius saja akan menyebabkan banyak terjadi kepunahan, terutama pada spesies yang sulit beradaptasi di daerah kutub dan tropis.
 Bagi Indonesia, negara yang bergantung pada kekayaan alam, pertistiwa kebakaran hutan dan pemucatan terumbu karang menjadi permasalahan serius, terutama pada masyarakat yang tinggal di daerah sekitar hutan dan pesisir pantai. Meski tingat emisi GRK (Gas Rumah Kaca) meningkat, ada banyak peluang untuk menguranginya. Kejadian ini bukan akhir segalanya.

  Dalam konteks perubahan iklim, hutan seperti pisau bermata dua. Bila dikelola dengan baik maka ia mampu memaksimalkan fungsinya untuk menyerap dan menyimpan karbon. Sementara, bila tidak dikelola dengan baik, beralih fungsi menjadi lahan non hutan dan lalu dirusak, maka hutan akan menjadi sumber emisi yang besar.

  Hutan menutupi antara 86-93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah darat Indonesia. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1,18 juta hektar hutan setiap tahunnya. Deforestasi dan alih fungsi hutan, termasuk lahan gambut, menghasilkan sekitar 60 persen total emisi Indonesia.

   Kondisi ini mendorong Indonesia memilih menanggulangi deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama mengurang emisi dan menghadapi perubahan utama mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim. Solusi ini dikenal sebagai REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yakni insentif positif bagi negara berkembang yang melindungi hutannya. Skema ini pun lalu berkembang menjadi REDD+. Tidak hanya mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan, tetapi juga meningkatkan penyerapan karbon melalui konsevasi dan pengelolaan hutan lestari serta peningkatan cadangan karbon hutan.

 REDD+ DAN LANGKAH WWF
    WWF merespon peluang REDD+ ini dengan melakukan persiapan di tempat wilayah kerjanya. Taman Nasional Tesso Nilo di Riau dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah adalah lokasi pilihan untuk menunjukkan peran signifikan kawasan konsevasi dalam pelaksanaan REDD+ di tingkat kabupaten, Di Unurum Guay, Papua, identifikasi potensi REDD dialakukan melalui pemetaan partisipatif bersama masyarakat dan analisis High Consevatuin Value Forest.

    Sementara di Kutai Barat, Kalimantan Timur, WWF berupaya meminimalkan dampak negatif lingkungan yang mungkin muncul akibat pembangunan. Upaya membantu perencanaan mampu berkontribusi terhadap upaya mengurangi emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan mata pencaharian masyarakat, mempertahankan ekosistem dan nilai keanekaragaman hayati, serta mempertahankan fungsi wilayah tersebut sebagai koridor keanekaragaman hayati di sekitar kawasan lindung. Beragam upaya tersebut dikemas dalam perencanaan program RPAN (REDD+ for people and Nature) WWF Indonesia di Kutai Barat untuk Ekonomi Hijau

 PANAS BUMI: ENERGI RAMAH LINGKUNGAN 
    Listrik telah menjadi kebutuhan sehari-hari kita. Ia tidak terpisahkan dari masyarakat kota-kota besar dengan tingkat konsumsi yang sangat tinggi. Lihat saja berderet aktivitas ini: menyalakan lampu di saat gelap, mendinginkan ruangan dengan kipas angin ataupun AC, memasak nasi dengan rice cooker, menyalakan TV sebagai sarana hiburan dan informasi, mengisi batere telepon seluler sebagai sarana komunikasi. Semua membutuhkan listrik!

     Namun, sebagian besar listrik yang kita nikmai sehari-hari berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil seperti bahan minyak (BBM) dan batubara yang tergolong jenis energi yang tidak terbarukan dalam waktu cepat. Semakin besar konsumsi enegi ini, maka akan semakin cepat habis cadangannya di dalam perut bumi.

       Selain masalah terbatasnya persediaan, setiap tahapan dalam proses energi fosil mulai dari pemanfaatan hingga limbah akhir pembakarannya menghasilkan polusi dan emisi yang berbahaya bagi manusia dan juga kerusakan lingkungan. Lebih jauh lagi, emisi yang dihasilkan berkontribusi pada peningkatan GRK (Gas Rumah Kaca) di atmosfer yang berdampak pada pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim. Rentetan dampak negarif yang ditimbulkan oleh energi listrik, mendorong WWF untuk mengembangkan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Maka, dikembangkanlah di wilayah vulkanik atau wilayah yang terdapat banyak gunung api.

        WWF melihat pentingnya pengembangan panas bumi dalam mendukung ketahanan energi nasional dan konservasi lingkungan. Pada 2010, WWF mengembangkan program "Ring of Fire (ROF)" dengan target yang sangat ambisius yakni membangun lingkungan yang kondusif bagi pemanfaatan panas bumi dan sumber energi terbarukan lainnya secara berkelanjutan di Indonesia dan Filipina dari 3.000 MV di tahun 2009 hingga 12.000 MW di 2020. Sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, Indonesia menjadi target dan prioritas utama dalam program ROF tersebut karena sejauh ini dari total potensi yang bumi sebesar 28.000 MV, energi panas bumi baru dimanfaatkan kurang lebih 4%. Pada 2016, ditargetkan akan ada dua proyek percontohan untuk pemanfaatan panas bumi yang berkelanjutan dan mendukung upaya konservasi di wilayah WWF-Indonesia di Sumatera.

        Untuk mencapai target tersebut, WWF berusaha mendorong perbaikan sektor energi agar lebih berkelanjutan dan mendukung upaya pengembangan energi panas bumi di Indonesia. WWF mempromosikan kebijakan energi ramah lingkungan, langkah menuju pembangunan berkelanjutan, ekonomi ramah lingkungan, dan peningkatan pengetahuan masyarakat.

         Bila dibandingkan dnegan batubara, panas bumi memiliki banyak keuntungan baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Dari sisi ekonomi komponen biaya, Pembangkit Listrik Tenaga Gas Bumi (PLTP) jauh lebih murah karena tidak ada komponen biaya bahan bakar serta resiko fluktuasi biaya akibat harga bahan bakar yang tidak stabil dan cenderung meningkat.

         Dari sisi lingkungan, PLTP lebih ramah lingkungan karena emisi yang dihasilkan sangat rendah yaitu sekitar 180 Kg/MVh, lima kali lebih rendah dibandingkan emisi yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang hampir mencapai 1000Kg/MVh. Dalam jangka panjang keberkelanjutan PLTP lebih terjamin mengingat panas bumi merupakan yang terbarukan. Bila diakumulasi secara total dari hulu hingga hilir, area lahan yang dibutuhkan utuk PLTP lebih effisien yaitu 0,4-3,2 hektar per Megawatt dibandingkan PLTU yang mencapai 7,7 hektar per Megawatt.

SIAP SEBELUM BENCANA
     Iya kita sadar dengan adanya fenomena perubahan iklim akibat aktivitas kita mengeluarkan gas rumah kaca secara berlebihan. Iya, kita paham adanya ancaman serius bagi manusai bila keanekaragaman hayati dan ekosistem terganggu karena  aktivitas kita tersebut dan karena dampak perubahan iklim. Lalu, apa kita juga mengerti bahwa bencana datang tanpa pemberitahuan dan tanpa memilih korban? Semua orang di seluruh dunias sudah, sedang, atau berpotensi mengalami terkena dampak perubahan iklim yang fatal dan ekstrim, seperti topan badai, banjir, atau kekeringan.

     Cuaca ekstrim menyebabkan petani tidak dapat menentukan musim dan nelayan sulit melaut. Naiknya para muka laut telah menenggelamkan beberapa permukiman penduduk di wilayah pesisir. Belum lagi dampaknya bagi kesehatan masyarakat. Adakah yang bisa kita lakukan supaya bisa bertahan dan kembali ke kondisi semula ketika itu terjadi? Adaptasi adalah jawabannya.

     Saat ini WWF-Indonesia bersama dengan mitra peneliti dan berbagai komunitas tengah mendokumentasikan kejadian seluruh pelosok negeri yang bisa dikatakan dampak perubahan iklim, Beragam cerita dari Berau, Kalimantan Timur, kesaksian seorang warga pesisir Kaledupa di Wakatobi, Sulawasesi Tenggara yang mlai mengalam kekeringan, hingga petani di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang kerap kali gagal panen. 

        Kumpulan fakta tersebut menjadi acuan penting bagi WWF dalam mencari solusi dan mengembangkan strategi adapatasi bagi ekosistem dan komunitas yang terkena dampak perubahan iklim.

Subscribe untuk mendapatkan kabar terbaru dari kami

0 Response to "GLOBAL WARMING (PEMANASAN GLOBAL)"

Post a Comment

Terima kasih jika sudah mengomentari artikel saya karena saya juga manusia yang biasa tidak luput dari kesalahan.