pasang iklan

Isu Lingkungan Desa

Desa berwawasan lingkungan: Arahan baru bagi ‘penduduk di taman nasional’ di Indonesia? 


Arahan baru kebijakan zona khusus taman nasional memungkinkan komunitas lokal memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya hutan, seraya tetap mematuhi peraturan menjaga kawasan lindung. Achmad Ibrahim/CIFOR
BOGOR, Indonesia (4 Pebruari, 2013)_Suatu  solusi unik penyelesaian masalah yang kerap terjadi di kawasan taman nasional di seluruh Indonesia:
bukan menggusur komunitas lokal, yang sudah Iama tinggal di dalam lingkup batas daerah yang dilindungi ini, melainkan  membentuk “desa eko”, di mana penduduk masih bisa mendapatkan hasil panen dari kacang-kacangan, berbagai buah beri, tanaman obat dan produk non-kayu lainnya yang dikumpulkan dari hutan.
Berbagai kelompok lokal sedang mengajukan klaim di Taman Nasional Kutai, Provinsi Kalimantan Timur,  berdasarkan hak akses nenek moyang mereka, yang menimbulkan isu-isu legal serta tata kelola yang rumit dan menghambat konservasi daerah yang sudah terpapar akibat kegiatan penebangan, pertambangan batu bara dan eksplorasi minyak bumi.
Meski hal ini menimbulkan tantangan-tantangan khusus, sayangnya hal ini bukanlah suatu hal yang luar biasa untuk negara-negara dimana sebagian dari 50 taman nasional berada, sesungguhnya hanya, “taman-taman di atas kertas”.

Sebagian besar taman tersebut ditetapkan oleh pemerintah nasional melalui keputusan yang tidak mempertimbangkan berbagai jenis komunitas lokal yang berbeda yang telah lama tinggal di sana, dan di mana pemerintah memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin konsesi meskipun status taman tersebut merupakan daerah lindung.
Untuk mempertemukan tuntutan-tuntutan dari berbagai kelompok lokal yang membuat klaim atas lahan di wilayah Kutai, suatu laporan baru dari CIFOR menyajikan proposal bekerja sama yang dikemukakan oleh sejumlah peneliti, organisasi non pemerintah dan perwakilan bisnis.
Mereka menganjurkan kebutuhan untuk memperkuat kebijakan yang memungkinkan untuk pembentukan zona dengan ‘kegunaan khusus’, daerah di mana komunitas lokal memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya hutan, sementara pada waktu yang sama tetap mematuhi peraturan untuk menjaga status daerah lindung taman tersebut.

Meskipun peraturan-peraturan pada saat ini memang memungkinkan untuk menentukan zona khusus di dalam lingkup taman, peraturan tersebut tidak cukup rinci untuk memastikan bahwa penggunaan sumber daya hutan oleh berbagai komunitas sejalan dengan berbagai usaha konservasi, dan juga tidak secara sah mengakui hak-hak komunitas dalam pengelolaan taman, ujar Moira Moeliono, penulis pendamping dari The challenges of developing a rights-based approach to conservation in Indonesia (Tantangan dalam mengembangkan pendekatan berbasis hak terhadap konservasi di Indonesia).
“Seperangkat ‘aturan khusus’ harus dirancang secara terpadu dengan hak dan tanggung jawab yang ditetapkan secara jelas, yang kemudian akan diajukan dan disetujui oleh pengelola taman,” tambahnya.

“Misalnya, penduduk setempat dapat diberi hak untuk hidup dan mencari nafkah dalam taman dengan pembatasan-pembatasan yang memungkinkan untuk konservasi.  Sebaliknya, penduduk dapat memperoleh hak atas ganti rugi akibat kendala yang ditimbulkan. Pada waktu yang sama penduduk juga berttanggung jawab melindungi daerah inti dari pelanggaran batas, berpartisipasi dalam pemantauan serta memastikan pelestarian spesies yang terancam punah”.

Ketika Kutai ditetapkan tahun 1995 menjadi taman nasional pertama di Indonesia, suku Bugis, pendatang dari Sulawesi Selatan sudah menetap di daerah tersebut dan mengklaim kepemilikan lahan mereka. Empat tahun kemudian pemerintah provinsi (dengan mengabaikan status terlindung taman tersebut) menetapkan 23.000 hektar dari taman tersebut untuk pemukiman suku Bugis.
Hal ini mendorong perpindahan komunitas lokal lainnya ke dalam taman dan diikuti dengan pembangunan jalan, pompa bensin, terminal bus dan menara komunikasi. Pada tahun 2007, penduduk asli suku Dayak dan Kutai mengklaim “kepemililkan” dari tambahan 100 hektar dari taman tersebut berdasarkan hak akses nenek moyang mereka atas lahan tersebut sebagai penduduk asli Kalimantan.
“Pertanyaan mengenai kelompok mana yang memang layak mendapat pengakuan atas klaim lahan mereka ternyata sangat rumit,” demikian dikemukakan dalam laporan tersebut.

“Apakah yang berhak adalah suku Bugis, yang menetap di daerah tersebut sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, atau orang Dayak dan Kutai, yang menerapkan aturan tradisional untuk membabat hutan meskipun mengetahui bahwa lahan tersebut adalah taman nasional?.”
Sementara penjualan lahan di taman nasional merupakan tindakan ilegal menurut hukum di Indonesia, laporan tersebut juga mengungkapkan, banyak penduduk telah menjual plot-plot tanah kepada penduduk dari kota-kota sekitarnya, yang menambah kerumitan isu hak atas lahan di daerah lindung ini serta menimbulkan pertanyaan akan hak apa yang dimiliki oleh pembeli lahan tersebut.
Terlebih lagi, pemerintah setempat telah berkali-kali mengeluarkan sertifikat kepemilikan tanah yang  menjadi ancaman bahwa plot-plot tanah tadi akan menjadi milik orang yang mungkin akan bersedia menjualnya kepada pertambangan batu bara atau perusahaan penebangan kayu.
Zona berkegunaan-khusus tidak hanya menyangkut pengakuan dan melindungi hak-hak penduduk setempat tetapi juga dapat menyediakan sebuah mekanisme untuk menuntut ganti rugi bila hak tidak diakui, kata Moeliono.

Namun, masih banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan untuk menciptakan dasar hukum yang melandasi pengelolaan daerah zonasi tersebut agar dapat menangani keluhan ini, debatnya.
“CIFOR tengah bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan untuk dapat mengintegrasikan dengan lebih baik peraturan-peraturan yang ada mengenai pengelolaan terpadu dan penetapan zona.”

ISU-ISU KRUSIAL DI DALAM PENGELOLAAN DESA WISATA SEBAGAI ALTERNATIF BERWIRAUSAHA 

Banyak wisatawan saat ini yang cenderung menghindari kawasan wisata yang mapan, kemudian mencari kawasan wisata yang menonjolkan keaslian dan keunikan. Pencarian destinasi wisata baru tersebut dipengaruhi oleh ekspektasi wisatawan terhadap mutu lingkungan. Salah satunya adalah melalui pariwisata pedesaan yang pada akhir-akhir ini mulai ditingkatkan. Di tengah-tengah animo besar berbagai pihak untuk mengembangkan desa wisata, perlu diidentifikasi sejumlah isu-isu krusial pengelolaannya. Isu-isu tersebut bersifat generik dan tentu saja memerlukan validasi yang lebih tajam. Isu-isu krusial pengelolaan desa wisata menuntut kita untuk merumuskan sejumlah tidakan antisipatif. Dengan mempertimbangkan kondisi objektif desa wisata maka optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam dan manusia di lokasi desa wisata dapat dilakukan dan dikendalikan oleh masyarakat local tanpa didasari oleh berbagai kepentingan politik apapun.

 Pengamatan secara umum memberikan gambaran bahwa motif berwisata bergeser secara signifikan, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Terutama bagi masyarakat di negara-negara maju yang sangat ketat dengan pengaturan jam kerja dan waktu liburan, kegiatan berwisata dipandang merupakan ruang sekaligus peluang yang membebaskan diri dari hidup atau kerja yang monoton (Henning, 1999). Motif utama berwisata sangat kental dengan hal-hal yang bersifat pribadi, seperti aktualisasi diri, pengayaan pengalaman, kontak sosial yang lebih dalam dan sebagainya. Konkretnya, wisatawan cenderung meninggalkan produk-produk standar berskala massal (high volume production of standard commodities) dan beralih menuju produk-produk unik yang beragam dan bermutu tinggi (high value production of unique commodities) (Weiler dan Hall, 1992). Banyak wisatawan menghindari kawasan-kawasan mapan atau tempat yang tingkat wisatawannya sangat tinggi, kemudian mencari tempat yang menonjolkan keaslian otentisitas (authenticity) (Reisinger dan Steiner, 2006; Olsen, 2002), orisinalitas (originality) dan keunikan (uniqueness) lokal.

Pencarian objek wisata yang unik dan beragam dengan kualitas yang tinggi tadi mengakibatkan daerah-daerah baru, kawasan pedalaman, atau desa-desa tradisional tidak luput dari sasaran kunjungan wisatawan. Hal itu dilakukan untuk menemukan objek dan daya tarik  yang unik dan berkualitas yang tidak lagi diberikan oleh destinasi wisata yang telah mapan atau over user, seperti Pattaya (Thailand), Cancun (Meksico); atau kuta (Bali) sekalipun. Pencarian destinasi wisata baru itu dipengaruhi oleh ekspektasi wisatawan terhadap mutu lingkungan. Mereka menyadari bahwa mutu lingkungan di pedesaan masih lebih orisinil, lebih sehat dan alami daripada di kawasan perkotaan (Lewis, 1999).

Desa Wisata dalam Konteks Pariwisata Pedesaan
Dalam konteks ini pengembangan pariwisata pedesaan dipandang cukup signifikan. Pengalaman di negara lain seperti India, Uganda dan Ceko (Vogels, 2002; Holland, et.al.,2003) menunjukkan kontribusi penting pariwisata pedesaan terhadap perubahan-perubahan kelembagaan, sosial dan individu di destinasi pariwisata. Holland dan kawan-kawan (2003), misalnya mengatakan setidaknya tiga alasan penting pengembangan pariwisata pedesaan, yaitu:

Fakta-bahwa semakin besarnya proporsi penduduk yang bermukim di perkotaan negara berkembang tidak dengan sendirinya menghapus kenyataan lain tentang semakin kecilnya peluang masyarakat pedesaan memanfaatkan input-input pembangunan yang (juga) semakin terbatas. Dikatakan bahwa salah satu peluang besar bagi masyarakat pedesaan adalah memanfaatkan sumber daya setempat yang dikelola dalam bentuk usaha pariwisata. Pengembangan pariwisata pedesaan memiliki kekuatan yang terandalkan karena produk itu sendiri didatangi oleh- bukan diantarkan kepada – wisatawan, sehingga terbuka kesempatan yang lebih besar untuk memperluss transaksi jasa di lokasi.Fakta membuktikan bahwa pariwisata mencakup berbagai jenis dan bentuk usaha, mulai dari skala kecil sampai besar dan informal hingga formal. Keuntungan lainnya adalah bahwa karakteristik pariwisata pedesaan selalu melibatkan usaha-usaha yang dikelola oleh masyarakat setempat, mulai dari penyediaan akomodasi, atraksi dan fasilitas transportasi.

2. Pariwisata pedesaan merupakan salah satu media yang mampu mengalihkan atau mendistribusi peluang ekonomi dari daerah perkotaan ke pedesaan.
Transfer peluang dan sumberdaya ekonomi ini penting mengingat kawasan pedesaan masih terperangkap oleh pusaran kuat kemiskinan yang ditandai antara lain oleh aktivitas nonpertanian yang lemah, keterbatasan infrastruktur dan akses yang terbatas terhadap jasa-jasa yang penting. Para ahli (Holland, et.al., 2003) berpendapat bahwa pengembangan pariwisata pedesaan mampu mengakselerasi:
1. Pertumbuhan, diversifikasi dari kestabilian ekonomi
2. Perluasan kesempatan kerja untuk meningkatkan pendapatan
3. Pengurangan potensi migrasi ke kota sekaligus keseimbangan distribusi penduduk
4. Perbaikan dan pemeliharaan layanan publik dan infrastruktur dasar
5. Revitalisasi industri kerajinan, tradisi dan identitas budaya perluasan peluang untuk pertukaran social
6. Perlindungan dan perbaikan lingkungan alam
7. Penguatan pengakuan terhadap potensi dan kapasitas pedesaan oleh para pengambil keputusan dan perencana ekonomi.
8. Pariwisata pedesaan merupakan satu dari sedikit pilihan yang laik untuk mengakselerasi perkembangan ekonomi pedesaan.




Subscribe untuk mendapatkan kabar terbaru dari kami

0 Response to "Isu Lingkungan Desa"

Post a Comment

Terima kasih jika sudah mengomentari artikel saya karena saya juga manusia yang biasa tidak luput dari kesalahan.